I.
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
Tiap profesi termasuk Advokat
menggunakan sistem etika, terutama untuk menyediakan struktur yang mampu
menciptakan disiplin tata kerja, dan menyediakan garis batas tata nilai yang
bisa dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan dilemma etika yang
dihadapi saat menjalankan fungsi pengemban profesinya sehari-hari. Sistem etika
tersebut bisa juga menjadi parameter bagi berbagai problematika profesi pada
umumnya, seperti menjaga kerahasiaan dalam hubungan klien profesional, konflik
kepentingan yang ada, dan isu-isu yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial
profesi.
Advokat
sebagai profesi terhormat (officium
nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan
hukum, Undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada
kehormatan dan
kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada
kemandirian, kejujuran, kerahasiaan, dan keterbukaan.
Di dalam Bab II Pasal 2 Kode
Etik Advokat Indonesia Tentang Kepribadian Advokat, disebutkan:
“Advokat
Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran
dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan
tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode
etik Advokat serta sumpah jabatannya”.
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran
dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan
tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode
etik Advokat serta sumpah jabatannya adalah “kepribadian yang harus dimiliki oleh setiap Advokat”.
Kode etik yang mengatur
mengenai kepribadian advokat sangat berkaitan erat dengan Ethika. Ethika
merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang perilaku yang baik,
berupa nilai-nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup
bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang. Ethika moral ini menumbuhkan
kaedah-kaedah atau norma-norma ethika yang mencakup theori nilai tentang
hakekat apa yang baik dan apa yang buruk, dan theori tentang perilaku
(“conduct”) tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.
Moral
ini berkaitan erat dengan pandangan hidup, agama atau kepercayaan maupun
adat-kebiasaan masyarakat yang bersangkutan. Bangsa Indonesia mempunyai
Pancasila sebagai dasar ideologi Negara dan pandangan hidup dan jati diri
bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan ethika
moral bangsa Indonesia,
termasuk sila Pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
menunjukkan bahwa, seluruh
bangsa Indonesia adalah bangsa
yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, termasuk di dalamnya adalah seorang
Advokat.
Dari ketentuan sebagaimana
dimaksud Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia dapat disimpulkan bahwa
seorang advokat, dalam menjalankan profesinya, harus selalu berpedoman kepada:
a. Kejujuran profesional (professional honesty) sebagaimana terungkap dalam Pasal 3 huruf a.
Kode Etik Advokat Indonesia dalam kata-kata “Oleh karena tidak sesuai dengan
keahilannya”, dan
b. Suara hati nurani (dictate of conscience).
Keharusan bagi setiap advokat
untuk selalu berpihak kepada yang benar dan adil dengan berpedoman kepada suara
hati nuraninya berarti bahwa bagi advokat Indonesia tidak ada pilihan kecuali
menolak setiap perilaku yang berdasarkan “he who pays the piper calls the tune”
karena pada hakikatnya perilaku tersebut adalah pelacuran profesi advokat.
Keperluan bagi advokat untuk
selalu bebas mengikuti suara hati nuraninya adalah karena di dalam lubuk hati
nuraninya, manusia menemukan suatu satu hukum yang harus ia taati. Suara hati
nurani senantiasa mengajak manusia untuk melakukan yang baik dan mengelakkan
yang jahat. Hati nurani adalah inti yang paling rahasia dan sakral dari manusia.
Di sana ia
berada sendirian dengan Allah, suara siapa bergema dalam lubuk hatinya. Makin
berperan hati nurani yang benar, maka makin banyak advokat akan meninggalkan
sikap dan perilaku sesuka hati dan berusaha dibimbing oleh kaidah-kaidah moral
yang objektif.
Dalam proses penegakan hukum
ini, kita para lawyers baik di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif,
maupun di bidang pemberian jasa hukum harus berperan secara positif-konstruktif
untuk ikut menegakkan hukum yang berkeadilan. Janganlah berperan secara
negatif-destraktif dengan menyalahgunakan hukum, sehingga akhir-akhir ini
muncul tuduhan adanya “mafia peradilan”, penyelewengan hukum, kolusi hukum dan
penasehat hukum yang pinter-busuk (“advocaat in kwade zaken”) yang memburamkan
Negara kita sebagai Negara hukum.
Satu-satunya profesi yang
menyandang predikat sebagai profesi terhormat (officium nobile) adalah Advokat. Predikat itu sesungguhnya bukan
“gelar kehormatan” yang diberikan masyarakat atau penguasa, karena para advokat
telah berjasa kepada masyarakat dan Negara. Akan tetapi, predikat itu muncul
karena tanggung jawab yang dibebankan kepada advokat.
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa kode etik yang mengatur mengenai kepribadian advokat sangat
berkaitan erat dengan Ethika, yang
bertujuan agar orang hidup bermoral baik dan berkepribadian luhur
(berkarakter), sesuai dengan ethika moral yang dianut oleh kesatuan/lingkungan
hidupnya (dalam hal ini adalah Negara Indonesia yang berdasarkan dan
berideologikan Pancasila).
Sehingga, sudah sepantasnya jika seseorang advokat harus memiliki kepribadian
yang luhur dan mulia, berkaitan dengan predikat yang disandangnya sebagai
profesi yang terhormat (officium nobile)
Negara Indonesia merupakan Negara hukum
yang berdasarkan dan berideologikan Pancasila yang mutlak harus menjadi tujuan
dan arah pembangunan bangsa, Negara, pemerintahan (dalam arti luas) dan
konstellasi ketatanegaraan kita.
1. Azas
Wibawa Hukum (berlakunya azas legalitas, Kunstitutsionalitas dan supremasi
hukum);
2. Azas
Pengayoman Hukum (dimana hukum yang diperlambangkan sebagai pohon beringin
Pengayoman menjamin dan melindungi hak-hak dan kewajiban azasi warganegara);
3. Azas
Kepastian Hukum (dimana dijamin adanya suatu Keluasan Kehakiman yang mereka, an
independent judiciary yang mampu menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan
berdasarkan perikemanusiaan yang adil dan beradab).
Azas
pertama mensyaratkan adanya pembuat UU dan hukum yang demokratis dan sesuai aspirasi
rakyat, memerlukan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden pembentuk UU yang kuat
dan berwibawa dan adanya Dewan Pertimbangan Agung yang kuat dan berwibawa untuk
menjaga tegaknya wibawa hukum dengan secara preventip maupun secara represip
dapat menjaga atas hukum dan perundang-undangan yang serasi-konsisten dan tidak
saling bertentangan.
Azas
kedua mensyaratkan adanya seperangkat alat perlengkapan Negara, aparatur
pemerintah, aparatur penegak hukum, polisi, jaksa, korps pengabdi hukum seperti
penasehat hukum, legal consultant, notaris yang bersih dan berwibawa dan
masyarakat yang berkesadaran hukum tinggi, tahu akan hak dan kewajiban
hukumnya.
Azas
ketiga mensyaratkan adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang kuat berwibawa dan
adanya badan pengawasan yang kuat dan berwibawa seperti Badan Pemeriksa
Keuangan yang mandiri dan effektif jangkauan dan perannya.
Setiap
advokat, di dalam menjalankan profesinya sebagai profesi yang dinamik dan
terhormat (officium nobile) haruslah
memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
dan melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur,
adil, dan bertanggungjawab berdasarkan hukum dan keadilan (Pasal 4 ayat (2)
UUNo. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).
Berkaitan
dengan UU Advokat No. 18 tahun 2003 maka disusun Kode Etik Advokat Indonesia,
hal ini bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat (Pasal
26 Bab IX ayat 1); UU tersebut juga mengatur bagaimana seorang Advokat wajib
tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat (ayat 2); Kode etik profesi Advokat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan (ayat 3); Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi
Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat (ayat 4). Kode etik juga mengatur
tentang susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Pada
dasarnya, Kode Etik Advokat dan Undang-Undang Advokat mengatur tentang hubungan
Advokat dengan Klien dan Hubungan Advokat dengan teman sejawat. Hubungan antara
Advokat dengan klien diatur di dalam Pasal 4 Kode Etik Advokat, yaitu:
a. Advokat
dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan
damai.
b. Advokat
tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai
perkara yang sedang diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya
bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam
menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat
tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
f. Advokat
dalam mengurus perkara Cuma-Cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti
terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar